Tag Archives: Peternakan

Performa Lebih Apik Tanpa Antibiotik

Produktivitas unggas tetap terjaga, bahkan lebih baik dengan kombinasi pengganti AGP yang tepat.

Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promoter – AGP) tidak lagi diizinkan pada industri peternakan di Indonesia. Baik sebagai imbuhan pakan (feed additive) ataupun melalui air minum. Selain sebagai pemacu pertumbuhan, antibiotik sebelumnya banyak digunakan untuk program pencegahan infeksi bakteri patogen. Pemakaian antibiotik yang tidak bijak dan digunakan selain untuk pengobatan akan mengakibatkan superbugs atau kejadian antimicrobial resistance (AMR).

Hal tersebut benarkan Wayan Wiryawan, Direktur PT Farma Sevaka Nusantara, saat wawancara dengan AGRINA di kantornya di kawasan Sentul City, Bogor, Jawa Barat, Kamis (23/8). Wayan mengutarakan, aplikasi antibiotik yang tidak terkontrol atau tidak bijak akan menimbulkan efek resistensi. Hal tersebut akan berimbas terhadap kesehatan saluran pencernaan unggas yang kemudian berdampak pada performa atau produktivitasnya.

Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana ini mengulas, ayam bisa berproduksi dengan baik meskipun tak lagi menggunakan antibiotik. “Ketika ayam sudah sehat, peternak tidak perlu lagi khawatir akan kebutuhan antibiotik. Menjaga kesehatan dan performa ayam tanpa AGP itu sangat bisa,” tandas Wayan meyakinkan.

Beberapa produk non-antibiotik, seperti produk fitogenik (essential oil/minyak asiri) dan asam organik dapat juga menggantikan antibiotik, baik sebagai pemacu pertumbuhan maupun program pencegahan (flushing atau cleaning) melalui air minum. Selain itu, imbuh Wayan, sediaan produk kombinasi antara fitogenik (minyak asiri) ditambah asam organik bekerja sangat efektif dan saling menguatkan untuk mencegah infeksi berbagai jenis enteropatogen, tanpa menimbulkan efek samping bagi hewan ternak dan juga tidak mengganggu keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan.

Lipsus1.jpg
Produktivitas Unggas Bisa Lebih Baik dengan Produk Organik

Menjaga Kesehatan Sistem Pencenaan

Wayan menjelaskan, fungsi utama sistem pencernaan pada unggas untuk mensekresi enzim dan hormon di pankreas, mencerna dan menyerap nutrisi di usus, dan melakukan metabolisme nutrisi di hati. Saluran pencernaan melakukan pemecahan komponen bahan pakan yang dikonsumsi secara mekanis dan kimiawi menjadi komponen dasar dalam tembolok dan empedal (gizzard ) dengan bantuan enzim eksogen. Kemudian, komponen dasar itu dicerna dalam usus halus dengan bantuan enzim endogen. Selanjutnya nutrisi diserap vili-vili usus dengan sel absortifnya yang sehat.

Secara sederhana, saluran pencernaan yang sehat dan utuh akan menghasilkan kinerja optimum dalam mencerna dan menyerap nutrisi pakan. Untuk menilai fungsi saluran pencernaan, menurut Wayan, bisa dengan melihat beberapa parameter, seperti tingkat kecernaan dan penyerapan nutrisi yang baik sehingga nutrisi pakan yang terbuang menjadi feses sangat rendah. Feses juga relatif kering, bentuk dan warnanya normal dengan bau tidak menyengat karena sangat minim cemaran gas yang berbahaya. Selain itu, konversi pakan (feed conversion ratio – FCR) yang sangat baik.

Pemilihan formulasi dan manajemen pakan akan berimbas nyata pada kesehatan saluran pencernaan (gastrointestinal tract integrity) yang nantinya mempengaruhi kemampuan dalam mencerna dan menyerap nutrisi serta pertumbuhan ayam. Masalah kesehatan saluran pencernaan timbul akibat asupan nutrisi dan pemilihan feed additive yang tidak tepat sehingga kerja saluran pencernaan kurang optimal. Lingkungan yang kurang higienis juga turut berpengaruh, terutama selama tahap awal perkembangan anak ayam.

Dalam menjaga kesehatan dan performa saluran pencernaan, ujar dia, sebaiknya pakan yang diberikan memiliki kandungan nutrisi lengkap dan seimbang. Dan yang tak kalah penting, pakan tersebut mudah dicerna oleh ayam. Sementara, untuk mencegah infeksi bakteri entero-pathogen yang ada dalam saluran cerna dapat menggunakan produk alternatif pengganti antibiotik.

Produk-produk alternatif tersebut, ungkap Wayan, lebih aman dan tetap efektif  dalam mencegah terjadinya gangguan pencernaan. Contohnya, penggunaan produk yang mengandung kombinasi fitogenik dan asam organik, probiotik dan prebiotik, serta antikoksidia alami dan juga disertai pemberian antitoksin yang bekerja efektif mengikat semua jenis racun dalam level rendah yang mencemari pakan saat diberikan pada ayam.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 291 yang terbit September 2018. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Beternak Tanpa AGP, Waspadai Tiga Penyakit

Oleh: Tony Unandar, Private Poultry Farm Consultant

Pelarangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan sudah berlangsung tujuh bulan. Dampaknya telah terlihat di lapangan. Peternak menghadapi ancaman koksidiosis, nekrotik enteritis, dan gangguan pernapasan kompleks.

Dalam pertemuan Asosiasi Praktisi Perunggasan Asia Pasifik belum lama ini terungkap, dampak pelarangan Antibiotic Growth Promoter (AGP) terhadap peternakan ayam ras di Indonesia lebih berat dibandingkan di Eropa dan negara lain. Penelusuran di lapangan memperlihatkan tiga hal yang mempengaruhi hal tersebut.

Pertama, hampir semua peternak di Indonesia menerapkan multiage system (beberapa umur). Jarang sekali peternak memelihara ayam satu umur. Pada broiler ini agak sensitif.

Kedua, mulai banyak peternak broiler yang beralih dari open house ke closed house. Ini sinyal bagus karena Indeks Performa (IP) meningkat dari rata-rata 200-an menjadi 400-an. Namun kepadatan ayam yang meningkat, dari 15–18 kg/m2 menjadi lebih dari 30, bahkan 36 kg/m2 juga membawa dampak negatif.

Makin padat populasi tanpa tidak diikuti pengaturan closed house yang tepat menciptakan situasi anaerob. Kondisi anaerob memicu kasus penyakit Complicated Chronic Respiratory Disease (gangguan pernapasan kompleks) dan Necrotic Enteritis (NE). Kepadatan tinggi juga menyebabkan ayam selalu dalam keadaan silent heat stress.

AGP yang bekerja secara multi approach mampu membuat ayam cukup “sakti” mengatasi gangguan patogen. Ketika peternak “terpaksa” mengganti AGP dengan produk alternatif yang bekerja secara spesifik sekali, performa ayam terganggu. Karena itulah perlu kombinasi beberapa produk alternative yang bekerja sinergis.

Yang ketiga, biosekuritas yang tidak optimal memicu terbentuknya mikrofilm (kerak berisi beberapa bakteri) pada tempat pakan atau saluran air minum. Bila saat itu juga AGP kita hilangkan, berkecamuklah mikrofilm. Maka ada istilah disbakteriosis (ketidakseimbangan bakteri) yang berdampak menurunkan efisiensi pencernaan dan akan bertambah parah bila ditambah NE.

Koksidiosis Meningkat

Problem pertama akibat peniadaan AGP adalah gangguan saluran cerna. Kasus paling banyak adalah koksidiosis (berak darah) yang disebabkan protozoa Eimeria. Pada peternakan broiler dengan kepadatan tinggi, ayam mudah termakan oosit. Keseimbangan mikroflora di dalam ususnya jadi terganggu. Kepadatan tinggi juga membuat ayam mengalami silent heat stress. Ditambah kualitas litter yang cepat menurun, kondisi ayam makin parah.

Ketika AGP dilarang dan masa penggunaan antikoksi menjadi lebih singkat (hanya 7 hari), tidak seperti sebelumnya sepanjang hidup ayam, maka bisa terjadi kasus koksidiosis dari subklinis sampai klinis. Pasalnya, asupan pakan termasuk antikoksi yang dicampur dalam pakan, tidak merata dan tidak cukup pada setiap ayam. Akibatnya, beberapa ayam dengan asupan antikoksi suboptimal yang akhirnya berperan menjadi seeder bird (penyebar) koksi di dalam kandang. Wabah koksi biasanya terjadi setelah umur tiga minggu.

Manajemen air juga penting. Begitu banyak ayam yang diare (wet dropping) atau sistem air minumnya bocor, kualitas litter jadi jelek. Dan itu memudahkan oosit yang tidak infektif menjadi infektif lalu siap menginfeksi ayam. Karena itu peternak harus memantau kondisi ayamnya setiap hari dengan cermat dan membuat health scoring.

Memang, koksidiosis hanya mengganggu dinding usus, tapi keparahannya tergantung bagian yang diserang: usus depan, tengah, belakang, atau sekum. Kalau bagian usus halus depan dan tengah yang terkena, dampaknya jauh lebih signifikan dibandingkan di usus buntu. Bila usus buntu terserang parah, umumnya ada kematian.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 290 yang terbit Agustus 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Panen Optimal dengan Pengganti AGP

Pengganti AGP harus memenuhi kriteria aman, hemat biaya, tidak beracun, tidak resisten, dan mujarab.

Tantangan dalam peternakan ayam ialah infeksi dysbacteriosis dan clostridial penyebab gangguan pencernaan, kotoran basah dan tingginya level amoniak penyebab masalah budidaya, dermatitis pada kaki ayam dan kulit yang terbakar, keseragaman bobot tubuh dan konversi pakan (FCR) yang rendah.

Mengacu pada mekanisme kerja antibiotic growth promoter (AGP), menurut Neus Torrent, imbuhan pakan baru dikembangkan guna mencegah dan mengontrol sebab negatif yang mengakibatkan masalah pencernaan. “Pengganti AGP harus memenuhi kriteria aman, hemat biaya, tidak beracun, tidak resisten, dan mujarab. Tujuannya memperbaiki kesehatan, kesejahteraan, dan efisiensi produksi,” kata Ruminant Technical Manager T&V Nutricion Animal itu.

Pengganti AGP

Untuk menjaga kesehatan unggas, Neus menjelaskan bahan yang bisa menggantikan peran AGP adalah mineral, enzim, asam organik, prebiotik, dan minyak esensial. Drh. Ni Made Ria Isriyanti, Ph.D., Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, menambahkan, setidaknya ada 7 pengganti AGP yang digunakan di dunia, yaitu prebiotik, probiotik, asam organik, minyak esensial, enzim, bakteriofage, dan hiperimune.

Probiotik contohnya Lactobacillus spp, Enterococcus spp, dan Bacillus spp. Prebiotik misalnya oligosakarida (MOS, FOS) dan inulin. Asam organik seperti asam butirat, asam kaproat, dan asam asetat. Minyak esensial berupa oregano, atsiri, dan thymol (minyak ekaliptus). Enzim seperti fitase dan polisakarida non-pati. Bacteriophage itu bakteri dan hiperimune berupa antibodi. Meski begitu, “Ternyata di seluruh dunia juga belum ada yang mengatakan: wah ini yang paling pas,” ungkap Ni Made pada acara Indo Livestock Expo & Forum 2018 di Jakarta, (4/7).

Indonesia juga memiliki sumber daya alam pengganti AGP yang sudah diteliti Universitas Lampung, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, dan IPB. Herbal itu berupa kunyit, sirih, daun jambu, meniran, temulawak, jahe, kunyit, sereh, kencur, lengkuas, temu hitam, temu kunci, bawang merah, bawang putih, kemangi, dan kelor.

Setelah Permentan No. 14/2017 keluar pada Mei 2017, ada 21 produk pengganti AGP yang terdiri dari enzim, obat alami, dan asam organik dan 31 produk pergantian dari pakan menjadi farmasetik untuk terapi. “Sudah banyak sekali produk yang terdaftarkan sebagai pengganti AGP. Jadi, tidak ada kekosongan terhadap produk-produk pengganti AGP,” tegasnya.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 290 yang terbit Agustus 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Peluang Tak Melayang Meski AGP Menghilang

Peternak masih mencari ramuan yang tepat supaya performa unggas kembali meningkat.

Sektor agribisnis, khususnya peternakan, menjadi perhatian Presiden Joko Widodo dalam membangun perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Untuk menunjukkan perhatiannya, Presiden Jokowi menyempatkan hadir ke Indo Livestock 2018 Expo & Forum di JCC, Jakarta, 4-6 Juli 2018. Menyambangi pameran peternakan terbesar di Indonesia tersebut pada hari terakhir, Presiden menyatakan kekagumannya terhadap dunia peternakan di dalam negeri yang berkembang begitu cepat. Apalagi peternakan Indonesia saat ini sudah berorientasi ekspor.

Di sela-sela kunjungannya, Presiden mengapresiasi pelaku peternakan yang telah mengadopsi peralatan dan teknologi modern. “Ini sebuah batu loncatan dari industri yang diharapkan bisa memperbaiki neraca perdagangan,” tuturnya.

Memang, pemerintah sangat serius menyoroti sektor peternakan di dalam negeri, berbagai peraturan dibuat dengan tujuan memajukan dan menjaga keamanan pangan hasil dari sektor peternakan. Yang masih hangat, peraturan mengenai dilarangnya antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter – AGP) dalam budidaya ternak.

Kementerian Pertanian menuangkan kebijakan itu dalam Permentan No. 14/2017, tentang klasifikasi obat hewan. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita berujar, kebijakan ini diambil demi terwujudnya pangan yang aman dan sehat. “Kita ingin bangsa kita dihargai bangsa lain. Produk pangan yang aman tentu dilirik oleh negara lain,” ulasnya belum lama ini.

Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tanpa pengawasan dikhawatirkan menimbulkan resistensi. Seiring mulai berlaku beleid tersebut 1 Januari 2018, Kementan memperketat pengawasan terhadap integrator dan peternak mandiri. Bahkan sanksi disiapkan bagi siapapun yang melanggar. Pemerintah tak segan mencabut izin operasinya.

Dalam kesempatan berbeda, Ni Made Ria Isriyanti, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditkeswan, Ditjen PKH, menuturkan, petunjuk teknis (juknis) terkait Permentan No.14/2017 tengah disusun. Juknis dibuat dengan maksud memperjelas medicated feed (pakan terapi) yang boleh digunakan. Dengan berlakunya permentan tersebut, era baru perunggasan di Tanah Air resmi dimulai.

Tantangan Pascapelarangan

Era baru perunggasan diharapkan menjadikan industri ini ke arah yang berkelanjutan dan lebih bertanggung jawab. Dicabutnya AGP sebagai imbuhan pakan, mengharuskan peternak lebih baik lagi dalam manajemen budidaya. Namun, setelah larangan ini berjalan selama tujuh bulan, ancaman penyakit dan menurunnya produksi masih dirasakan peternak.

Joko Susilo, peternak broiler (ayam pedaging) di Bogor mengatakan, pascapelarangan AGP, peternak harus memutar otak supaya produktivitas ternaknya tetap apik. Sampai Mei 2018, imbuhnya, indeks performa (IP) pemeliharaan broiler masih di bawah 300. Padahal, standar IP yang baik adalah 300. Semakin tinggi nilai IP, maka semakin berhasil peternakan broiler.

Menurut Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Antar Lembaga GOPAN ini, segala upaya telah dilakukan peternak agar performa ayamnya meningkat, mulai dari perbaikan pakan hingga manajemen. Namun pertumbuhan masih belum bisa serentak sehingga tingkat keseragaman bobot menurun.

Dari segi pakan, lanjut dia, meskipun efisiensinya bagus, ayam sulit sekali untuk mencapai bobot maksimal. Hal ini menandakan fungsi pencernaan di tubuh ayam terganggu. Kemudian, menurunnya IP bisa diperparah ketika terjadinya stres. Deplesi pun mencapai 40%. Namun yang membingungkan, efisiensi pakan masih di atas 60%. “Padahal IP dan feed intake-nya jauh sekali,” tandas Joko.

Berbagai macam pengganti AGP memang telah tersedia di pasaran, tetapi bagi Joko yang memilih produk probiotik, cara pengaplikasiannya menjadi kendala. Dulu, penggunaan AGP terbilang mudah karena masuk ke dalam pakan, peternak praktis tinggal pakai saja. Sekarang, pengganti AGP tidak bisa produk tunggal. Kapan pemakaian yang tepat, itu yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi peternak. Belum lagi petugas kandang yang mesti diedukasi lagi.

Sementara itu, Suaedi Sunanto, Direktur Elanco Animal Health Indonesia menimpali, dihilangkannnya AGP bukan serta merta mencari penggantinya saja. “Bukan seperti itu, harus mengevaluasi lebih jauh lagi,” ungkapnya.

Mengutip konsensus dan literatur, Edi menyatakan, ketika AGP dicabut dan tanpa ada pengganti apapun, biaya produksi akan naik sekitar 11%. Hal itu karena waktu kering kandang lebih lama 8,5%. Konversi pakannya pun membengkak.

Yang menjadi tantangan utama ketika antibiotik dilarang, ucap alumnus IPB ini, adalah bacterial enteritis. Kejadian bacterial enteritis tidak semata-mata berasal dari infeksi bakteri tapi bisa juga berasal dari koksi, virus, dan dari pakan ataupun nutrisi. Untuk itu, simpulnya, integritas saluran pencernaan perlu dijaga.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 290 yang terbit Agustus 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Meningkatkan Produksi Sapi ala Swasta

Pihak swasta berkontribusi penting dalam membantu pemerintah mengejar target ketersediaan daging sapi di Indonesia

Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) yang dicanangkan pemerintah masih perlu ditingkatkan. Pasalnya, tahun ini peningkatan populasi masih belum terlihat signifikan. Berdasarkan riset yang diadakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), terjadi peningkatan populasi pedet 21% di lima lokasi pada 2016-2017.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, mengatakan, pemerintah mendorong dan membuka lebar kesempatan bagi pihak swasta untuk memberi andil dalam pembangunan di sektor peternakan melalui investasi dan kemitraan. Peran swasta, terutama investor sangat diharapkan untuk menjembatani usaha peternakan rakyat ke dalam skala usaha yang lebih besar.

Upsus Siwab menjadi program yang dicanangkan Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam Permentan No. 48/Permentan/PK.210/10/2016. Upaya tersebut sebagai langkah percepatan untuk mencapai target pemenuhan populasi sapi potong dalam negeri.

Ketut mengakui, peranan swasta begitu signifikan dan harus menjadi rekanan yang sifatnya setara. PT Santosa Agrindo (Santori) menjadi salah satu swasta yang mendapat apresiasi dari pemerintah lantaran beberapa waktu lalu mampu mengekspor daging sapi wagyu ke Myanmar. Selain itu pemerintah turut mengapresiasi pihak swasta di bidang sawit yang berkomitmen dalam pengembangan integrasi sawit-sapi. “Kata kunci agar program ini berhasil tidak lain adalah sinergitas,” ujar mantan Direktur Kesehatan Hewan ini.

Pengembangan Sapi Potong Komersial

Peningkatan populasi sapi potong nasional harus berlandaskan pengembangan usaha pembiakan sapi potong secara komesial. Usaha tersebut seharusnya memiliki fundamental efisiensi tinggi, berbiaya rendah, skala industri, dan bersinergi dengan industri lainnya.

Menurut Anityo Yusman Adisuwondo, Head of Sales & Marketing PT Santori, pengembangbiakan sapi potong komersial wajib menetapkan sasaran dan strategi pengembangan. Memulai operasional sejak 2008, saat ini Santori memiliki 7.200 ekor indukan komposit brahman cross, brangus, dan wagyu di Kabupaten Lampung Selatan. Tiap tahunnya jumlah pedet yang lahir mencapai 5.000 ekor.

Santori sendiri memiliki tiga macam usaha pembiakan, yakni pengembangan genetik sapi potong khusus, seperti wagyu. Pengembangannya di Lampung, mulai dari pembibitan, pembiakan, sampai pemotongan menjadi daging.

Kedua, pengembangan sapi brahman cross berbasis kemitraan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. “Total yg kita masukkan ada 6.300 ekor. Saat ini sebagian indukan sudah melahirkan 1.900 pedet. Jumlah mitra yg bekerja sama baru 29 peternak. Di sini kemitraan yang terbentuk baru 176 indukan bunting dan 54 pedet. Pembiayaan dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) oleh BRI dan BNI,” paparnya.

Ketiga, kolaborasi dengan perkebunan sawit dalam rangka Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (SISKA). Santori, jelas Anityo, bekejasama dengan PT Buana Karya Bhakti di Kalimantan Selatan. Hasil yang didapatkan ada 139 ekor pedet sampai Maret 2018.

Kunci Sukses Usaha Pembiakan Komersial

Untuk memproduksi daging wagyu, Anityo mengakui, biayanya memang paling mahal. Namun, keuntungan bisa diraih karena ini produk khusus daging yang nilai rataannya jauh lebih baik. Sementara untuk kemitraan, jual daging masih harus disubsidi. Sebab rataan HPP produksi daging masih di atas harga pasar. Sementara kegiatan SISKA di Santori, terbilang model baru yang lebih efisien tetapi angka kelahiran pedetnya masih belum ideal.

Sejauh ini, Santori memiliki program impor 15 ribu ekor indukan dan breeding harus dijalankan secara baik. Mulai dari adaptasi, memperhatikan nutrisi, manajemen reproduksi, manajemen kelahiran dan pembesaran. Keempat faktor ini, ulas Anityo, harus dilaksanakan supaya 15 ribu indukan tersebut bisa berkembang lebih banyak lagi sesuai keinginan Kementan.

Kunci sukses dalam usaha pembiakan komersial adalah unggul dalam daya saing. Untuk itu butuh dukungan pembiayaan, insentif, dan regulasi. Sebab dari segi biaya, usaha peternakan masih belum bisa dijadikan aset biologis. “Tiga faktor utama yang harus dimiliki sebagai fundamen adalah efisiensi tinggi dan biaya rendah, skala indsutri, dan bersinergi,” tandasnya.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 289 yang terbit Juli 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/