Tag Archives: Agrina

Jaja Subagdja Dinata, Sukses dengan Menyukseskan Orang Lain

“Saya ingin membangkitkan orang-orang yang hidup di daerah pesisir bahwa di sini ada potensi bertambak udang skala kecil.”

Kesuksesan bisa diraih dari hal kecil dan yang ada di depan mata. Itulah yang ada dalam pemikiran Jaja Subagdja Dinata, pembudidaya udang anggota Shrimp Club Indonesia (SCI). Berdasarkan pengalaman budidaya udang di berbagai wilayah Indonesia, ia menemukan peluang wirausaha menjanjikan. Teknologinya mudah, biaya produksi murah, profit menggiurkan, dan pelaku usaha tidak perlu meninggalkan rumah. Seperti apa konsep bisnis yang menurut Jaja bisa mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir ini?

Skala Kecil                 

Menurut Jaja, terjun dalam budidaya udang sangat menguntungkan karena permintaan besar dan harganya oke. Meski duitnya gede, banyak orang enggan bertambak karena faktor psikologis. Umumnya lokasi tambak itu terpencil, sepi, dan jauh dari kota sehingga teknisi atau petambak harus berpisah dengan keluarga. “Jauh dari keluarga itu psikologisnya terganggu. Bisa sih kumpul tapi gimana pendidikan anak-anak?” terang Jaja saat ditemui AGRINA di Cibitung, Bekasi, Jabar.

Kebanyakan orang juga berpikir bahwa membuat tambak butuh modal miliaran dengan ukuran kolam minimal 1.000 m2. Ternyata, ungkap pria kelahiran 17 Oktober 1974 itu, kita bisa budidaya udang skala kecil dengan luas tambak 100-200 m2 per unit. Kolam ini terletak di samping rumah layaknya backyard pembenihan udang yang eksis sejak dulu sampai sekarang.

“Kenapa kita nggak bikin tambak udang skala backyard, skala kecil, dan itu sudah terbukti ada. Di Pangkalan Brandan, Sumut itu 15 km dari laut dan di Pemalang 6 km dari laut tapi di pinggir-pinggir rumah,” cetusnya bersemangat.

Melalui skala kecil, Jaja berharap, pembudidaya kecil bisa bangkit. Pembudidaya udang skala rumah tangga setidaknya mengelola tambak berukuran 200 m2 atau dengan kolam bulat diameter 10 m. Budidaya udang di kolam bulat radius 5 m dengan volume air 70 m3, padat tebar 1.000 ekor/m3, dan peluang hidup (survival rate) 80%, menurut perhitungannya akan menghasilkan 0,5-1 ton udang per siklus. “Untung Rp20 ribu/kg, dapat Rp20 juta per 4 bulan atau Rp5 juta/bulan. Mendingan jadi petambak, wong samping rumah,” seru dia.

“Orang yang paling baik adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.”

Nelayan dan warga yang tinggal di pinggir pantai sangat bisa melakoni budidaya udang skala kecil. Penghasilan nelayan lebih terjamin daripada mengandalkan hasil laut yang tidak menentu. Pembicara di Sustainable Fisheries Partnership itu mengatakan, “Saya ingin membangkitkan orang-orang yang hidup di daerah pesisir bahwa di sini ada potensi bertambak udang skala kecil. Toh udang dijual ke pasar pun bisa. Diecer di pinggir rumah juga bisa.”

Jika program ini digalakkan pemerintah, tentu akan mendukung perekonomian masyarakat pesisir. Caranya, pemerintah menginisiasi masyarakat membikin kolam ukuran 100 m2 atau diameter 10 m. “Di pantai, kolam lele bioflok dengan bak bundar bisa dialihkan untuk pelihara udang. Tapi, budidaya lele bioflok di darat tetap berjalan,” imbuhnya.

Mudah dan Risiko Terukur

Jaja menuturkan, teknologi budidaya udang skala kecil juga mudah, murah, dan proses produksinya cepat. Di Sumut, ia mencontohkan, petambak berusia 70 tahun bisa mengembangkan budidaya si bongkok skala 100 m2. Awalnya pria yang tidak lulus sekolah dasar itu hanya membuat empat tambak kecil. Kini tambaknya mencapai 20 petak.

Menjalankan budidaya udang skala kecil, sambung pria asal Kuningan, Jabar itu, bisa menggunakan sumur bor. “Sumur bor harusnya steril, nggak perlu disinfektan, bibit ikan juga nggak ada. Kedua, posisi kolam harus di atas jadi kalau kejemur, oksidasi sempurna, bibit penyakit mati dengan sinar matahari. Jadi akan lebih ringan biaya-biayanya,” paparnya.

Filter air berupa planktonet atau saringan hijau lalu tambahkan saponin. Untuk menumbuhkan plankton, bisa menggunakan molase, abu sekam, gula pasir, atau pupuk NPK dan tanpa penambahan probiotik. Probiotik, lanjut suami Anita Handayani itu, banyak tersedia di alam, seperti tetes tebu, gula pasir, dedak, tepung terigu, tepung beras, abu sekam, dan ragi.

Sedangkan sumber oksigen dari blower, bubble, atau sistem venturi. Khusus kolam bundar, tidak perlu kincir. “Saya pengen sesuatu itu dibuat simpel dan semua orang bisa melakukan. Nggak muluk-muluk, paling nggak bisa menghidupi diri sendiri, nggak bergantung pada orang,” urai dia.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/JajaSubagdjaDinata

Akuakultur Indonesia Menuju Revolusi Biru

“Dalam sistem dan usaha agribisnis akuakultur yang paling lemah saat ini adalah on-farm. Bagaimana mendorong on-farm ini mengubah paradigmanya dari budaya tradisional ke budaya bisnis dan melihat akuakultur sebagai suatu sistem dan usaha agribisnis untuk mewujudkan revolusi biru,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.

Apakah Indonesia punya pengalaman revolusi dalam agribisnis?

Kita sudah punya tiga revolusi di bidang agribisnis. Pertama, revolusi hijau di bidang pangan dengan swasembada beras pada 1984. Kedua, revolusi unggas mencapai swasembada ayam negeri, baik daging maupun telurnya. Dan ketiga, revolusi sawit yang dimulai dari kerjasama antara PTPN dengan petani plasma, lalu datang para pengusaha swasta dan petani mandiri. Sekarang kita menjadi raja sawit dunia karena ada kerjasama yang baik antara para petani, pengusaha, dan pemerintah. Saat ini sekitar 45% dari total sawit tersebut ada di tangan petani. Kata kunci keberhasilan dari ketiga revolusi tersebut adalah kemitraan yang baik antara petani/peternak, pengusaha, dan pemerintah.

Masalah utama di perikanan budidaya adalah paradigma para pelakunya termasuk pemerintah yang melihat akuakultur sebagai budaya atau way of life belum sebagai bisnis. Jika melihatnya sebagai bisnis, maka harus mengutamakan pasar dan perhitungan laba rugi. Misalnya, pasar membutuhkan udang, maka fokus usaha pada udang termasuk kebijakan, strategi, program, dan sumberdayanya. Dengan demikian bisnis udang ini bisa berkembang lebih besar seperti sawit. Tidak berlebihan jika mengharapkan revolusi agribisnis keempat di Indonesia akan datang dari budidaya udang.

Bagaimana kita memulainya?

Mulailah dengan yang sudah kita miliki dan dari titik paling lemah. Kembangkan model yang tidak menyisihkan rakyat. Subsistem on-farm di akuakultur merupakan titik paling lemah dalam sistem agribisnis. Sekarang on-farm atau budidaya masih 80% tradisional, maka mulai dari yang tradisional ini dimodernisasi. Perlu diubah paradigmanya dari budaya tradisional menjadi budaya modern atau budaya bisnis.

Lalu perlu dibentuk organisasi bisnisnya, apakah itu dalam satu komoditas atau dalam satu wilayah tertentu seperti kluster. Selanjutnya mereka diajarkan berorganisasi secara modern. Jika organisasi ini telah terbentuk, kaitkan dengan industri hulu dan hilirnya secara baik.

Biasanya di hulu dan hilir sudah merupakan industri modern dan usaha yang sudah maju. Karena itu, perlu dikembangkan kemitraan yang baik antara organisasi petambak dan petani ikan (on-farm agribusiness) dengan industri hulu dan hilir (up-stream dan down-stream agribusiness). Alasannya, tidak mungkin akan diperoleh industri hulu dan hilir yang maju jika on-farm-nya tetap tradisional. Jadi harus ada semangat kebersamaan, semangat kemitraan yang sinergis satu sama lain sehingga kita bisa menjadikan akuakultur sebagai revolusi biru.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Mekanisasi Wujudkan Cita-cita Lumbung Pangan Dunia

Mewujudkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia 2024 perlu kerja sama berbagai pihak dari pemerintah, swasta, dan masyarakat petani.

BPS mencatat, penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian pada 2017 mencapai 39,68 juta orang. Saat ini Indonesia memiliki bonus demografi yang luar biasa, yaitu kehadiran usia produktif berkembang pesat. Sayang, ada ketidakseimbangan di sektor pertanian karena kebanyakan tenaga kerjanya justru berusia di atas 50 tahun.

Menurut Reiner Atto, mekanisasi memiliki peranan penting terhadap kedaulatan pangan. Saat tenaga kerja terbatas, biaya menggarap lahan padi dan jagung contohnya, akan naik dan mempengaruhi harga. “Di sini peran mekanisasi hadir untuk menjembatani masalah kurangnya tenaga kerja pertanian,” jelas Product Manager Pre-Harvest Division PT Rutan, produsen mesin dan alat pertanian (alsintan) itu kepada Agrina.

Dukungan Pemerintah

Pria yang disapa Atto itu mengungkap, dalam 3 tahun terakhir dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian sudah sangat bagus. Terbukti PT Rutan merasakan dampaknya yakni menjadi penyuplai alat-alat pertanian untuk program bantuan pemerintah buat petani sekitar 15%-20% dari total produknya. Mulai dari pompa air, traktor roda 4, mesin tanam jagung, mesin tanam padi, hingga mesin panen padi. Meski begitu, pemerintah seolah lupa melakukan sosialisasi dan pelatihan penggunaan alsintan yang belum dipahami para petani.

“Peran mekanisasi hadir untuk menjembatani masalah kurangnya tenaga kerja pertanian.”

Menurut Atto, pemerintah perlu memberikan pelatihan sebelum memberi bantuan mekanisasi. Jika tidak, bisa membuat alat pertanian cepat rusak karena salah mengoperasikan atau tidak digunakan sama kali karena petani tidak paham cara menggunakan.

Salah satu mekanisasi yang masih sulit diterima petani adalah alat tanam padi (transplanter). Keberadaan transplanter terpaksa mengubah cara dan kebiasaan petani dalam menanam padi. Ketika menanam padi secara manual, benih padi umur 25 hari harus dipindahtanamkan ke lahan baru. Dengan mekanisasi, pembenihan dilakukan di talam kemudian ditanam di sawah. ”Ini yang sering kali alat datang lalu mereka bingung,” terangnya.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/MekanisasiPertanian

Kontribusi Bank BRI Dukung Pertanian

Seluruh stakeholder wajib terlibat demi mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sejauh apa peran perbankan dalam mendukung kedaulatan pangan nasional?

Industri perbankan, terutama Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), terus diberdayakan untuk membantu petani Indonesia. Ada dua program yang menyentuh bidang pertanian, yaitu pemberian kredit dan program Kartu Tani. Hasil rapat koordinasi antara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Pertanian, dan Himbara pada 20 Februari 2017 menyatakan, implementasi kartu tani 2018 untuk Banten, Jateng, dan Yogyakarta dilaksanakan oleh Bank BRI, Jabar oleh Mandiri, dan Jatim oleh BNI.

KUR Pertanian Bank BRI

Bank BRI termasuk salah satu bank milik negara yang banyak berkontribusi di bidang pertanian. Sepyan Uhyandi, Vice President Social Entrepreneurship Bank BRI mengungkapkan, sejak berdiri, 1895 sampai Februari 2018, Bank BRI telah menyalurkan kredit sektor pertanian kepada 1.683.196 debitur dengan total plafon sebesar Rp107,39 triliun. “Yang paling banyak dari sektor mikro. Ada sekitar 1,6 juta debitur,” terangnya dalam Seminar Nasional Kedaulatan Pangan 2018 dengan tema “Menuju Indonesia Lumbung Pangan 2045” di Jakarta (28/3).

Bank BRI menyalurkan kredit sektor pertanian kepada empat segmen, yaitu, korporasi, menengah, ritel, dan mikro. Rinciannya, sebesar Rp47,82 triliun kepada 80 debitur korporasi, Rp5,84 triliun untuk 102 debitur menengah, Rp10,03 triliun ke 29.587 debitur ritel, dan Rp43,67 triliun dinikmati 1.653.427 debitur mikro.

2
Kartu tani juga bisa berfungsi sebagai kartu debit

Kemudian, Bank BRI juga mengeluarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 7% per tahun. Ada dua jenis KUR yang dikeluarkan Bank BRI, yaitu KUR mikro untuk individu dan KUR kecil untuk individu/badan usaha. Perbedaannya pada jumlah plafonnya. KUR Mikro hanya memperoleh plafon maksimal Rp25 juta, sedangkan KUR kecil sebanyak Rp23 juta-Rp300 juta. “Kita memberi KUR Mikro di BRI Unit dan KUR Kecil di Kantor Cabang dan Kantor Cabang Pembantu,” papar Sepyan.

Kartu Tani

Kartu Tani  merupakan kartu debit BRI dengan desain khusus yang dapat membaca data petani. Di dalam kartu tani, tersimpan informasi data petani yang dapat dicek dengan mengakses database kuota melalui mesin EDC di kios pupuk agen BRILink. “Sekarang kita punya 310 ribu agen BRILink,” terang Sepyan. Data di kartu tani dapat diakses dan dibaca oleh Bank, Kementerian, BUMN Saprotan, dan Off-taker (penyerap hasil panen).

Mulyadi, petani padi di Desa Mendongan, Kec. Sumowono, Kabupaten Semarang, memberikan komentar positif tentang kartu tani. “Sampai saat ini baru saya pakai buat penebusan pupuk subsidi. Sebelum pakai kartu, waktu mau beli pupuk yang kita butuhkan belum pasti ada, harus nunggu kiriman. Setelah pakai kartu tani, pupuk tersedia pas kita membutuhkan,” katanya melalui aplikasi pesan singkat.

Hingga 23 Maret 2018, sudah ada 2,3 juta petani yang menerima kartu tani (96%) dan 5.510 Kios Pupuk Lengkap (KPL) menjadi agen BRILink (99) di Jateng. Sedangkan di Banten, ada sekitar 187 ribu kartu tani yang diterima petani (93%) dan 318 KPL yang menjadi agen BRILink (74%). Di Yogyakarta, ada 252 ribu kartu tani yang diterima petani (90%) dan 196 KPL yang menjadi agen BRILink (100%). Dan di Tasikmalaya, sudah ada 101 ribu kartu tani diterima petani (89%) dan 54 KPL menjadi agen BRILink (51%).

KPL yang menjadi agen BRILink, lanjut Sepyan, bisa mendapat banyak keuntungan karena berpeluang menambah penghasilan. “Bukan untuk jualan pupuk saja, tapi bisa menerima token listrik, pulsa, dan lainnya. Bisa ada tambahan penghasilan sekitar Rp3 juta-Rp4 juta/bulan,” papar alumnus Undip, Semarang, ini.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/KontribusiPerbankan

 

Dari Petani untuk Kesejahteraan Dunia

DLG memiliki DNA sebagai wadah bertukar ide dan pengetahuan sehingga membuat petani dan industri pertanian lebih maju.

Berangkat dari organisasi kecil, perkumpulan petani bisa mengubah wajah pertanian dunia. Itulah yang dilakukan para petani Jerman yang berada dalam wadah German Agricultural Society (Deutsche Landwirtschafts Gesellschaft-DLG). Tidak melulu bergantung pada pemerintah, DLG justru mampu menyelenggarakan pameran mekanisasi pertanian terbesar sedunia bernama Agritechnica yang selalu dinanti kehadirannya. Bahkan, DLG membantu petani di negara lain untuk menerapkan pertanian presisi.

Berasal dari Insiyur

DLG hadir bermula dari pemikiran seorang insinyur bernama Max Eyth. Pria kelahiran 1836 ini memulai karir di pabrik mesin uap bernama Gotthilf Khun di dekat Kota Berg, Jerman. Eyth kemudian bergabung dengan John Fowler, perusahaan mekanisasi terkemuka dunia berbasis di Leeds, Inggris.

Menjabat sebagai insinyur kepala pada 1860-1882, Eyth berkesempatan keliling dunia. Apa yang dilihat selama perjalanan membuatnya cemas memikirkan kondisi pertanian di negara asalnya. Dia merasa pikiran sempit dan birokrasi akan mengancam serta menghambat inovasi di sektor pertanian Jerman. Ia pun mendorong terciptanya organisasi nasional non-partisan yang mengikuti pola organisasi pertanian di Inggris.

Bermodal biaya pribadi, Eyth membahas organisasi non-profit (NGO) dan mencari anggota potensial ke penjuru Jerman selama tiga tahun. Akhirnya, DLG pun lahir di Berlin, Jerman pada 11 Desember 1885 dengan keanggotaan 200 orang.

Menurut Peter Grothues, Trade Fairs & Exhibitions Managing Director DLG, saat itu kondisi di Jerman cukup rumit dan sedikit orang yang mau terbuka bahkan mengerti tentang inovasi. “Eyth mendirikan DLG dengan ide dasar yang paling terhangat: bertukar metode, sistem terbaik, mencoba mencari tahu bagaimana teknologi bekerja di lahan,” katanya.

“Kami dari petani jadi ingin menampilkan teknologi. Dan para CEO dari perusahaan besar datang ke sini dan berdiskusi tentang masa depan, dan lain-lain. Bisa membuka jaringan di sini.”

Pendiri DLG menyadari pameran berperan penting memperkenalkan kemajuan teknologi pada petani Jerman. Berbeda dengan penyelenggara pameran pada masanya, DLG mengadakan pameran yang fokus pada hal teknik dan bernilai informasi tinggi. Pameran pertama DLG sukses terselenggara di Frankfurt pada 1887 dengan 50 ribu pengunjung.

Sejak itu DLG terkenal sebagai penyelenggara pameran pertanian dan pangan terbesar dunia, seperti Agritechnica, EuroTier, Anuga FoodTec, PotatoEurope, dan DLG Field Days. Rahasia sukses pameran itu, ungkap Peter, adalah jendela menuju masa depan dari sisi teknologi dan ide baru. “Kami dari petani jadi ingin menampilkan teknologi. Dan para CEO dari perusahaan besar datang ke sini dan berdiskusi tentang masa depan, dan lain-lain. Bisa membuka jaringan di sini,” urainya.

DNA DLG

Sebagai lembaga think-thank, DLG memiliki DNA sebagai wadah bertukar ide dan pengetahuan sehingga membuat petani dan industri pertanian lebih maju. Karena itu, DLG juga menyediakan 600 ha lahan uji coba di Saxon untuk teknik budidaya terdepan hingga uji mekanisasi pertanian. Saat ini keanggotaan DLG mencapai lebih dari 25 ribu anggota.

DLG mengorganisir 80 kelompok kerja yang menangani berbagai topik sesuai kebutuhan dan permintaan petani mulai dari pembenihan tanaman dan hewan, manajemen pertanian, hingga teknologi mekanisasi. Lantas DLG menampung ide tersebut, mendiskusikannya dengan para ahli, dan menyebarluaskan melalui situs dan pertemuan.

Peter mengatakan, DLG juga dipercaya sebagai lembaga uji pangan, teknologi, dan produksi tanaman. “Kami menguji sebanyak 33 ribu makanan dan minuman dalam setahun. Selain itu kami mengetes apa saja yang petani gunakan, seperti combine, traktor, sistem irigasi, pupuk, dan benih,” ulasnya. Berbagai produk yang sudah dites akan diberi logo DLG yang sangat dikenal konsumen Jerman.

Meski sebagai LSM, asosiasi tetap memperoleh profit. Peter mengungkap, dana operasional DLG datang dari uji produk, biaya keanggotaan, dan biaya pameran. Dengan begitu, DLG bisa membantu petani di negara lain dengan melakukan pameran dan membuat lahan percontohan.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/