Tag Archives: SCI

Budidaya Berbasis Klaster Mengangkat Produktivitas

Klaster atau kawasan khusus budidaya udang menjawab sejumlah tantangan.

Permintaan si bongkok yang tiada henti, baik dari pasar dalam negeri maupun mancanegara, menarik para pelaku usaha untuk menekuni budidaya udang dalam berbagai skala usaha. Mereka adalah pembudidaya udang skala intensif, semi-intensif, dan tradisional.

Menurut Iwan Sutanto, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI), produksi udang vaname  sekitar 390 ribu ton/tahun. Produksi ini berasal dari tambak milik anggota SCI sebanyak 280 ribu ton/tahun, tambak udang terintegrasi 20 ribu ton/tahun, dan tambak udang tradisional serta semi-intensif sekitar 90 ribu ton/tahun. “Hampir semua tambak anggota SCI dan tambak terintegrasi memproduksi udang vaname. Sedangkan tambak udang tradisional dan semi-intensif lebih banyak memproduksi udang windu daripada vaname,” ungkapnya.

Saat ini, ia menambahkan, area tambak udang di Indonesia mencapai 380 ribu ha. Tambak si bongkok itu terdiri dari 65% tambak udang tradisional, 25% tambak udang semi-intensif, serta 10% sisanya berupa tambak udang intensif dan super intensif. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 2015 ada 429.507 ha lahan budidaya payau yang dikelola secara tradisional, termasuk di dalamnya tambak udang dan ikan. Bagaimana mengoptimalkan tambak udang tradisional?

Sejumlah Masalah

Menurut Hadi Mulyono, tambak udang tradisional butuh penataan karena cenderung memiliki infrastruktur yang buruk dan tata letak tidak beraturan. Pengelola Kawasan Vaname (Kavas) PT Suri Tani Pemuka (STP) Jawa Timur itu mengungkapkan, kondisi pertambakan tradisional umumnya terletak di lokasi pasang-surut dengan tujuan utama pengisian air lebih murah karena tanpa menggunakan pompa. “Sumber air melalui jalur, kanal, atau sungai yang sama baik untuk sedot maupun panen,” kata Hadi.

Tata letak tambak seperti ini, ulasnya, memiliki kelemahan. Letak yang dekat muara sungai menyebabkan tambak rawan banjir saat musim hujan. Lokasi bekas daerah bakau juga menjadi tantangan tersendiri terkait pH tanah serta pengeringan lahan dan bahan organik yang masih tinggi.

Sementara, luas petakan tambak tradisional juga bervariasi dari 0,5–5 ha dengan tata letak yang tidak teratur. Kondisi tanggul, pelataran atau dasar tambak, dan pintu panen juga jarang dipelihara.

Sedangkan tambak yang berlokasi jauh di pelosok menghadapi kendala transportasi dan ketersediaan sarana produksi tambak (saprotam). Hadi menerangkan, “Jarak yang jauh dari sumber benur juga sering berakibat turunnya mutu benur. Apalagi, belum tersedianya arus listrik PLN sehingga menghambat dalam upgrade (meningkatkan) sistem budidaya.”

Kompetensi SDM

Lalu dari sisi kompetensi sumber daya manusia (SDM), Hadi menjelaskan, petambak tradisional memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan tentang budidaya udang yang minim. Mereka pun belum paham tentang manajemen keuangan. Sehingga saat panen sukses, keuntungannya digunakan untuk membeli kendaraan dan membangun rumah. Sementara, revitalisasi tambak dan penambahan saprotam seperti kincir, tidak dipikirkan. Ini karena kesadaran berinvestasi untuk perbaikan sarana tambak masih minim.

Selain itu, pembudidaya belum menyadari manfaat pencatatan terkait produksi dan penggunaan sarana produksi tambak sehingga sulit mengevaluasi kegiatan budidaya dan keuntungan yang diperoleh. Untuk itu perubahan ke arah budidaya yang lebih baik memerlukan bimbingan dan pendampingan secara berkelanjutan.

Apalagi, para pembudidaya tersebut juga belum paham tentang pentingnya sistem kawasan. Akibatnya, sering terjadi “saling bunuh” dalam proses budidaya si bongkok, yaitu ketika ada tambak yang terserang penyakit, pembudidaya tidak menginformasikan kepada pembudidaya lain. Ia langsung membuang air dan udang yang mati karena penyakit ke kanal umum sehingga menulari tambak di sekitarnya.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 289 yang terbit Juli 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Jaja Subagdja Dinata, Sukses dengan Menyukseskan Orang Lain

“Saya ingin membangkitkan orang-orang yang hidup di daerah pesisir bahwa di sini ada potensi bertambak udang skala kecil.”

Kesuksesan bisa diraih dari hal kecil dan yang ada di depan mata. Itulah yang ada dalam pemikiran Jaja Subagdja Dinata, pembudidaya udang anggota Shrimp Club Indonesia (SCI). Berdasarkan pengalaman budidaya udang di berbagai wilayah Indonesia, ia menemukan peluang wirausaha menjanjikan. Teknologinya mudah, biaya produksi murah, profit menggiurkan, dan pelaku usaha tidak perlu meninggalkan rumah. Seperti apa konsep bisnis yang menurut Jaja bisa mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir ini?

Skala Kecil                 

Menurut Jaja, terjun dalam budidaya udang sangat menguntungkan karena permintaan besar dan harganya oke. Meski duitnya gede, banyak orang enggan bertambak karena faktor psikologis. Umumnya lokasi tambak itu terpencil, sepi, dan jauh dari kota sehingga teknisi atau petambak harus berpisah dengan keluarga. “Jauh dari keluarga itu psikologisnya terganggu. Bisa sih kumpul tapi gimana pendidikan anak-anak?” terang Jaja saat ditemui AGRINA di Cibitung, Bekasi, Jabar.

Kebanyakan orang juga berpikir bahwa membuat tambak butuh modal miliaran dengan ukuran kolam minimal 1.000 m2. Ternyata, ungkap pria kelahiran 17 Oktober 1974 itu, kita bisa budidaya udang skala kecil dengan luas tambak 100-200 m2 per unit. Kolam ini terletak di samping rumah layaknya backyard pembenihan udang yang eksis sejak dulu sampai sekarang.

“Kenapa kita nggak bikin tambak udang skala backyard, skala kecil, dan itu sudah terbukti ada. Di Pangkalan Brandan, Sumut itu 15 km dari laut dan di Pemalang 6 km dari laut tapi di pinggir-pinggir rumah,” cetusnya bersemangat.

Melalui skala kecil, Jaja berharap, pembudidaya kecil bisa bangkit. Pembudidaya udang skala rumah tangga setidaknya mengelola tambak berukuran 200 m2 atau dengan kolam bulat diameter 10 m. Budidaya udang di kolam bulat radius 5 m dengan volume air 70 m3, padat tebar 1.000 ekor/m3, dan peluang hidup (survival rate) 80%, menurut perhitungannya akan menghasilkan 0,5-1 ton udang per siklus. “Untung Rp20 ribu/kg, dapat Rp20 juta per 4 bulan atau Rp5 juta/bulan. Mendingan jadi petambak, wong samping rumah,” seru dia.

“Orang yang paling baik adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.”

Nelayan dan warga yang tinggal di pinggir pantai sangat bisa melakoni budidaya udang skala kecil. Penghasilan nelayan lebih terjamin daripada mengandalkan hasil laut yang tidak menentu. Pembicara di Sustainable Fisheries Partnership itu mengatakan, “Saya ingin membangkitkan orang-orang yang hidup di daerah pesisir bahwa di sini ada potensi bertambak udang skala kecil. Toh udang dijual ke pasar pun bisa. Diecer di pinggir rumah juga bisa.”

Jika program ini digalakkan pemerintah, tentu akan mendukung perekonomian masyarakat pesisir. Caranya, pemerintah menginisiasi masyarakat membikin kolam ukuran 100 m2 atau diameter 10 m. “Di pantai, kolam lele bioflok dengan bak bundar bisa dialihkan untuk pelihara udang. Tapi, budidaya lele bioflok di darat tetap berjalan,” imbuhnya.

Mudah dan Risiko Terukur

Jaja menuturkan, teknologi budidaya udang skala kecil juga mudah, murah, dan proses produksinya cepat. Di Sumut, ia mencontohkan, petambak berusia 70 tahun bisa mengembangkan budidaya si bongkok skala 100 m2. Awalnya pria yang tidak lulus sekolah dasar itu hanya membuat empat tambak kecil. Kini tambaknya mencapai 20 petak.

Menjalankan budidaya udang skala kecil, sambung pria asal Kuningan, Jabar itu, bisa menggunakan sumur bor. “Sumur bor harusnya steril, nggak perlu disinfektan, bibit ikan juga nggak ada. Kedua, posisi kolam harus di atas jadi kalau kejemur, oksidasi sempurna, bibit penyakit mati dengan sinar matahari. Jadi akan lebih ringan biaya-biayanya,” paparnya.

Filter air berupa planktonet atau saringan hijau lalu tambahkan saponin. Untuk menumbuhkan plankton, bisa menggunakan molase, abu sekam, gula pasir, atau pupuk NPK dan tanpa penambahan probiotik. Probiotik, lanjut suami Anita Handayani itu, banyak tersedia di alam, seperti tetes tebu, gula pasir, dedak, tepung terigu, tepung beras, abu sekam, dan ragi.

Sedangkan sumber oksigen dari blower, bubble, atau sistem venturi. Khusus kolam bundar, tidak perlu kincir. “Saya pengen sesuatu itu dibuat simpel dan semua orang bisa melakukan. Nggak muluk-muluk, paling nggak bisa menghidupi diri sendiri, nggak bergantung pada orang,” urai dia.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/JajaSubagdjaDinata