Tag Archives: Akuakultur

Mendapuk Lampung Jadi Lumbung Udang

Analisis kekuatan dan potensi bermanfaat membangun industri udang berkelanjutan.

Segenap pemangku kepentingan yang difasilitasi Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) Kelompok Kerja (Pokja) Industri Maritim dan Peternakan (IPMP) sepakat mengembalikan kejayaan udang di Provinsi Lampung seperti era 90’an. Namun, terdapat sejumlah kendala dan hambatan pengembangan budidaya udang yang perlu diurai. Itulah benang merah yang bisa dipetik dari Rapat Koordinasi (Rakor) Budidaya Udang Nasional 2018 di Bandarlampung beberapa waktu yang lalu.

Infrastruktur Tambak

Muhammad Nadjikh, Ketua Pokja IPMP mengatakan, pihaknya ingin menjadikan Provinsi Lampung sebagai lumbung udang nasional sesuai arahan presiden untuk menaikkan ekspor udang. “Target itu sebagai upaya menindaklanjuti perintah Presiden untuk meningkatkan devisa negara melalui peningkatan ekspor nasional dari komoditas khusus udang,” ujarnya pada Rakor yang membahas Pengembangan Infrastruktur dan Kepastian Hukum itu.

“Jalan menuju kawasan tambak sangat tidak layak. Sarana irigasi sangat tidak mendukung usaha budidaya tambak udang,” ungkap dia.

Sebelumnya, Indonesia menempati peringkat kedua top five shrimp exporters dan Lampung merupakan produsen udang terbesar nasional. Namun kini menjadi peringkat ke empat di bawah India, Vietnam, dan Ekuador. Menurut Nadjikh, hal ini mendorong pemerintah kembali menjadikan Indonesia sebagai pengekspor utama udang.

Lalu Lampung sendiri sudah lama dikenal sebagai salah satu sentra produksi udang Indonesia. Dua perusahaan raksasa dalam budidaya udang, yakni PT Dipasena Citra Darmaja, seluas 16 ribu ha dan PT Central Proteina Prima seluas 17.400 ha yang beroperasi di kawasan Tulang Bawang dan Lampung Timur.

Selain itu, ratusan pembudidaya udang sistem intensif di wilayah Pesisir Lampung Selatan, Pesawaran, Tanggamus Lampung Barat bahkan sampai di perbatasan Provinsi Bengkulu juga memberikan kontribusi besar. “Belum lagi ribuan pembudidaya udang semi intensif dan tradisional di sepanjang pesisir Lampung Timur dan Lampung Selatan,” katanya.

Berdasarkan pantauan IPMP, lanjut Nadjikh, ada sejumlah permasalahan udang di Lampung, diantaranya soal infrastruktur. “Jalan menuju kawasan tambak sangat tidak layak. Sarana irigasi sangat tidak mendukung usaha budidaya tambak udang,” ungkap dia. Lalu, pasokan energi listrik PLN tidak menjangkau wilayah usaha tambak rakyat. Belum lagi dukungan permodalan dari perbankan sangat minim akibat dinilai risiko tinggi. Sementara, persyaratan legal formal kredit belum banyak dipahami petambak.

Kemudian, persoalan dukungan teknis dan managerial, kebijakan perundangan tidak kondusif untuk memenuhi kebutuhan penyuluhan, SDM penyuluh perikanan terbatas, dan anggaran untuk penyuluhan juga amat terbatas. Selanjutnya, persoalan data yang tidak jelas.

Dinas perikanan daerah tidak memiliki kewenangan pengelolaan data akibat kebijakan data tunggal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Akibat ketiadaan data daerah yang akurat maka daerah tidak bisa membuat perencanaan dan perumusan kebijakan.

Kecuali itu yang tak kalah vitalnya menghambat pengembangan investasi udang di Lampung adalah perizinan masih sulit dan berbiaya tinggi. Termasuk, tidak adanya jaminan kepastian dan perlindungan usaha akibat zonasi dan rencana umum tata ruang (RUTR) belum tersedia dan lemahnya koordinasi akibat masih kuatnya ego sektoral.

Terkait dengan masalah infrastruktur, Nadjikh menggarisbawahi, perlu memperkuat koordinasi antarinstansi untuk penyediaan sarana dan infrastruktur pendukung. Seperti, jalan untuk memperlancar transportasi logistik, saluran irigasi atau pemeliharaan dan pengaturan inletoutlet, dan penyediaan listrik PLN. Sebab jika menggunakan genset maka akan menambah biaya produksi sekitar 8% dibandingkan listrik PLN.

Kendala Lain

Taufik Hidayat, Pelaksana Tugas Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setprov Lampung tidak menampik sejumlah persoalan yang membelit budidaya udang di daerahnya. Bahkan Taufik mengakui, ada kendala lain yang juga diinventarisir Pemprov Lampung. Seperti, belum optimalnya pengelolaan perairan; tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan laut yang parah; pencemaran air akibat limbah industri, rumah sakit, rumah tangga, serta rumah makan menyebabkan kondisi perairan di sekitar Teluk Lampung tercemar.

“Pemprov akan terus mendorong produksi udang Lampung agar mampu menyumbang 40% produksi nasional,” tambahnya.

Lalu, belum optimalnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di bagian timur Sumatera yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa meliputi tiga Kabupaten: Tulang Bawang, Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di sini terjadi alih fungsi green belt (sabuk hijau) dan lahan pertanian menjadi tambak yang tidak terkendali. Di samping, lemahnya kemitraan petambak rakyat dengan petambak bermodal besar atau perusahaan; kerusakan terumbu karang dan padang lamun serta sedimentasi tinggi (pantai dan muara sungai).

Sementara di Pesisir Lampung Selatan, Bandarlampung, dan Pesawaran beroperasi alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan semisal trawl atau menggunakan bahan peledak; degradasi habitat mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir dan hutan pantai; pencemaran limbah cair dan padat serta rawan longsor dan banjir.

Sebagai solusi, jelas Taufik, pihaknya sudah menyusun arah kebijakan sektor perikanan dan kelautan berupa peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya; peningkatan nilai tambah, daya saing, industri hilir, pemasaran dan ekspor hasil perikanan, mendorong pengembangan wisata bahari di Lampung berbasis nelayan tradisional.

Dengan arah kebijakan tersebut, Taufik optimis Lampung akan kembali mengangkat sektor kelautan dan perikanan khususnya budidaya udang. Zona yang ditetapkan sebagai budidaya laut adalah Pesawaran, Lampung Selatan, Tanggamus, Bandarlampung dan Lampung Timur.

Ia mengharapkan para pemangku kepentingan berkomitmen mengatasi kendala-kendala yang terjadi di sentra produksi udang Lampung. Sehingga, ke depan mampu berkontribusi pada peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Lampung. “Pemprov akan terus mendorong produksi udang Lampung agar mampu menyumbang 40% produksi nasional,” tambahnya.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 288 yang terbit Juni 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/KejayaanUdangLampung

Akuakultur Indonesia Menuju Revolusi Biru

“Dalam sistem dan usaha agribisnis akuakultur yang paling lemah saat ini adalah on-farm. Bagaimana mendorong on-farm ini mengubah paradigmanya dari budaya tradisional ke budaya bisnis dan melihat akuakultur sebagai suatu sistem dan usaha agribisnis untuk mewujudkan revolusi biru,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.

Apakah Indonesia punya pengalaman revolusi dalam agribisnis?

Kita sudah punya tiga revolusi di bidang agribisnis. Pertama, revolusi hijau di bidang pangan dengan swasembada beras pada 1984. Kedua, revolusi unggas mencapai swasembada ayam negeri, baik daging maupun telurnya. Dan ketiga, revolusi sawit yang dimulai dari kerjasama antara PTPN dengan petani plasma, lalu datang para pengusaha swasta dan petani mandiri. Sekarang kita menjadi raja sawit dunia karena ada kerjasama yang baik antara para petani, pengusaha, dan pemerintah. Saat ini sekitar 45% dari total sawit tersebut ada di tangan petani. Kata kunci keberhasilan dari ketiga revolusi tersebut adalah kemitraan yang baik antara petani/peternak, pengusaha, dan pemerintah.

Masalah utama di perikanan budidaya adalah paradigma para pelakunya termasuk pemerintah yang melihat akuakultur sebagai budaya atau way of life belum sebagai bisnis. Jika melihatnya sebagai bisnis, maka harus mengutamakan pasar dan perhitungan laba rugi. Misalnya, pasar membutuhkan udang, maka fokus usaha pada udang termasuk kebijakan, strategi, program, dan sumberdayanya. Dengan demikian bisnis udang ini bisa berkembang lebih besar seperti sawit. Tidak berlebihan jika mengharapkan revolusi agribisnis keempat di Indonesia akan datang dari budidaya udang.

Bagaimana kita memulainya?

Mulailah dengan yang sudah kita miliki dan dari titik paling lemah. Kembangkan model yang tidak menyisihkan rakyat. Subsistem on-farm di akuakultur merupakan titik paling lemah dalam sistem agribisnis. Sekarang on-farm atau budidaya masih 80% tradisional, maka mulai dari yang tradisional ini dimodernisasi. Perlu diubah paradigmanya dari budaya tradisional menjadi budaya modern atau budaya bisnis.

Lalu perlu dibentuk organisasi bisnisnya, apakah itu dalam satu komoditas atau dalam satu wilayah tertentu seperti kluster. Selanjutnya mereka diajarkan berorganisasi secara modern. Jika organisasi ini telah terbentuk, kaitkan dengan industri hulu dan hilirnya secara baik.

Biasanya di hulu dan hilir sudah merupakan industri modern dan usaha yang sudah maju. Karena itu, perlu dikembangkan kemitraan yang baik antara organisasi petambak dan petani ikan (on-farm agribusiness) dengan industri hulu dan hilir (up-stream dan down-stream agribusiness). Alasannya, tidak mungkin akan diperoleh industri hulu dan hilir yang maju jika on-farm-nya tetap tradisional. Jadi harus ada semangat kebersamaan, semangat kemitraan yang sinergis satu sama lain sehingga kita bisa menjadikan akuakultur sebagai revolusi biru.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/AkuakulturIndonesia

Jaja Subagdja Dinata, Sukses dengan Menyukseskan Orang Lain

“Saya ingin membangkitkan orang-orang yang hidup di daerah pesisir bahwa di sini ada potensi bertambak udang skala kecil.”

Kesuksesan bisa diraih dari hal kecil dan yang ada di depan mata. Itulah yang ada dalam pemikiran Jaja Subagdja Dinata, pembudidaya udang anggota Shrimp Club Indonesia (SCI). Berdasarkan pengalaman budidaya udang di berbagai wilayah Indonesia, ia menemukan peluang wirausaha menjanjikan. Teknologinya mudah, biaya produksi murah, profit menggiurkan, dan pelaku usaha tidak perlu meninggalkan rumah. Seperti apa konsep bisnis yang menurut Jaja bisa mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir ini?

Skala Kecil                 

Menurut Jaja, terjun dalam budidaya udang sangat menguntungkan karena permintaan besar dan harganya oke. Meski duitnya gede, banyak orang enggan bertambak karena faktor psikologis. Umumnya lokasi tambak itu terpencil, sepi, dan jauh dari kota sehingga teknisi atau petambak harus berpisah dengan keluarga. “Jauh dari keluarga itu psikologisnya terganggu. Bisa sih kumpul tapi gimana pendidikan anak-anak?” terang Jaja saat ditemui AGRINA di Cibitung, Bekasi, Jabar.

Kebanyakan orang juga berpikir bahwa membuat tambak butuh modal miliaran dengan ukuran kolam minimal 1.000 m2. Ternyata, ungkap pria kelahiran 17 Oktober 1974 itu, kita bisa budidaya udang skala kecil dengan luas tambak 100-200 m2 per unit. Kolam ini terletak di samping rumah layaknya backyard pembenihan udang yang eksis sejak dulu sampai sekarang.

“Kenapa kita nggak bikin tambak udang skala backyard, skala kecil, dan itu sudah terbukti ada. Di Pangkalan Brandan, Sumut itu 15 km dari laut dan di Pemalang 6 km dari laut tapi di pinggir-pinggir rumah,” cetusnya bersemangat.

Melalui skala kecil, Jaja berharap, pembudidaya kecil bisa bangkit. Pembudidaya udang skala rumah tangga setidaknya mengelola tambak berukuran 200 m2 atau dengan kolam bulat diameter 10 m. Budidaya udang di kolam bulat radius 5 m dengan volume air 70 m3, padat tebar 1.000 ekor/m3, dan peluang hidup (survival rate) 80%, menurut perhitungannya akan menghasilkan 0,5-1 ton udang per siklus. “Untung Rp20 ribu/kg, dapat Rp20 juta per 4 bulan atau Rp5 juta/bulan. Mendingan jadi petambak, wong samping rumah,” seru dia.

“Orang yang paling baik adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.”

Nelayan dan warga yang tinggal di pinggir pantai sangat bisa melakoni budidaya udang skala kecil. Penghasilan nelayan lebih terjamin daripada mengandalkan hasil laut yang tidak menentu. Pembicara di Sustainable Fisheries Partnership itu mengatakan, “Saya ingin membangkitkan orang-orang yang hidup di daerah pesisir bahwa di sini ada potensi bertambak udang skala kecil. Toh udang dijual ke pasar pun bisa. Diecer di pinggir rumah juga bisa.”

Jika program ini digalakkan pemerintah, tentu akan mendukung perekonomian masyarakat pesisir. Caranya, pemerintah menginisiasi masyarakat membikin kolam ukuran 100 m2 atau diameter 10 m. “Di pantai, kolam lele bioflok dengan bak bundar bisa dialihkan untuk pelihara udang. Tapi, budidaya lele bioflok di darat tetap berjalan,” imbuhnya.

Mudah dan Risiko Terukur

Jaja menuturkan, teknologi budidaya udang skala kecil juga mudah, murah, dan proses produksinya cepat. Di Sumut, ia mencontohkan, petambak berusia 70 tahun bisa mengembangkan budidaya si bongkok skala 100 m2. Awalnya pria yang tidak lulus sekolah dasar itu hanya membuat empat tambak kecil. Kini tambaknya mencapai 20 petak.

Menjalankan budidaya udang skala kecil, sambung pria asal Kuningan, Jabar itu, bisa menggunakan sumur bor. “Sumur bor harusnya steril, nggak perlu disinfektan, bibit ikan juga nggak ada. Kedua, posisi kolam harus di atas jadi kalau kejemur, oksidasi sempurna, bibit penyakit mati dengan sinar matahari. Jadi akan lebih ringan biaya-biayanya,” paparnya.

Filter air berupa planktonet atau saringan hijau lalu tambahkan saponin. Untuk menumbuhkan plankton, bisa menggunakan molase, abu sekam, gula pasir, atau pupuk NPK dan tanpa penambahan probiotik. Probiotik, lanjut suami Anita Handayani itu, banyak tersedia di alam, seperti tetes tebu, gula pasir, dedak, tepung terigu, tepung beras, abu sekam, dan ragi.

Sedangkan sumber oksigen dari blower, bubble, atau sistem venturi. Khusus kolam bundar, tidak perlu kincir. “Saya pengen sesuatu itu dibuat simpel dan semua orang bisa melakukan. Nggak muluk-muluk, paling nggak bisa menghidupi diri sendiri, nggak bergantung pada orang,” urai dia.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://agrina-online.com/JajaSubagdjaDinata

Akuakultur Indonesia Menuju Revolusi Biru

“Dalam sistem dan usaha agribisnis akuakultur yang paling lemah saat ini adalah on-farm. Bagaimana mendorong on-farm ini mengubah paradigmanya dari budaya tradisional ke budaya bisnis dan melihat akuakultur sebagai suatu sistem dan usaha agribisnis untuk mewujudkan revolusi biru,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.

Apakah Indonesia punya pengalaman revolusi dalam agribisnis?

Kita sudah punya tiga revolusi di bidang agribisnis. Pertama, revolusi hijau di bidang pangan dengan swasembada beras pada 1984. Kedua, revolusi unggas mencapai swasembada ayam negeri, baik daging maupun telurnya. Dan ketiga, revolusi sawit yang dimulai dari kerjasama antara PTPN dengan petani plasma, lalu datang para pengusaha swasta dan petani mandiri. Sekarang kita menjadi raja sawit dunia karena ada kerjasama yang baik antara para petani, pengusaha, dan pemerintah. Saat ini sekitar 45% dari total sawit tersebut ada di tangan petani. Kata kunci keberhasilan dari ketiga revolusi tersebut adalah kemitraan yang baik antara petani/peternak, pengusaha, dan pemerintah.

Masalah utama di perikanan budidaya adalah paradigma para pelakunya termasuk pemerintah yang melihat akuakultur sebagai budaya atau way of life belum sebagai bisnis. Jika melihatnya sebagai bisnis, maka harus mengutamakan pasar dan perhitungan laba rugi. Misalnya, pasar membutuhkan udang, maka fokus usaha pada udang termasuk kebijakan, strategi, program, dan sumberdayanya. Dengan demikian bisnis udang ini bisa berkembang lebih besar seperti sawit. Tidak berlebihan jika mengharapkan revolusi agribisnis keempat di Indonesia akan datang dari budidaya udang.

Bagaimana kita memulainya?

Mulailah dengan yang sudah kita miliki dan dari titik paling lemah. Kembangkan model yang tidak menyisihkan rakyat. Subsistem on-farm di akuakultur merupakan titik paling lemah dalam sistem agribisnis. Sekarang on-farm atau budidaya masih 80% tradisional, maka mulai dari yang tradisional ini dimodernisasi. Perlu diubah paradigmanya dari budaya tradisional menjadi budaya modern atau budaya bisnis.

Lalu perlu dibentuk organisasi bisnisnya, apakah itu dalam satu komoditas atau dalam satu wilayah tertentu seperti kluster. Selanjutnya mereka diajarkan berorganisasi secara modern. Jika organisasi ini telah terbentuk, kaitkan dengan industri hulu dan hilirnya secara baik.

Biasanya di hulu dan hilir sudah merupakan industri modern dan usaha yang sudah maju. Karena itu, perlu dikembangkan kemitraan yang baik antara organisasi petambak dan petani ikan (on-farm agribusiness) dengan industri hulu dan hilir (up-stream dan down-stream agribusiness). Alasannya, tidak mungkin akan diperoleh industri hulu dan hilir yang maju jika on-farm-nya tetap tradisional. Jadi harus ada semangat kebersamaan, semangat kemitraan yang sinergis satu sama lain sehingga kita bisa menjadikan akuakultur sebagai revolusi biru.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 287 yang terbit Mei 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

Begini Desain Tambak Ramah Lingkungan

“Petak pengolah limbah masih jarang dilakukan sehingga ada image vaname merusak lingkungan.”

Dardjono, pengurus MAI Lampung menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang, yaitu pemilihan lokasi tambak, desain dan konstruksi tambak, prosedur tambak, dan teknik dan pascapanen. Desain tambak ramah lingkungan merupakan syarat dalam cara budidaya ikan yang baik. Ramah lingkungan menjadi tanggung jawab bersama dan tuntutan pasar global. Lantas, bagaimana desain tambak yang ramah lingkungan?

Desain Tambak

Menurut Dardjono, konstruksi tambak sangat berpengaruh terhadap budidaya udang karena secara langsung mempengaruhi kondisi dan kualitas lingkungan budidaya. Kriteria tambak yang baik itu mendapatkan air pasok yang bebas hama penular dan logam berat, dapat menampung air dan mempertahankan kedalaman sesuai yang diinginkan atau tidak rembes, mengeluarkan limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut yang rendah, serta bisa menjaga keseimbangan proses mikrobiologis.

Untuk memenuhi kriteria tersebut, tambak harus dilengkapi saluran pasok air, unit tandon berupa petak karantina, petak pengendapan, dan petak biofilter, mempunyai petak pemeliharaan, serta petak pengolahan limbah. “Petak pengolah limbah masih jarang disediakan sehingga ada image udang vaname merusak lingkungan,” ungkap Staf Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur itu.

“Artinya, tidak ada fluktuasi antara pagi dan siang sehingga planktonnya bagus, kualitas airnya terjaga, dan udangnya bagus,” jelasnya.

Lokasi tambak udang wajib memiliki sumber air yang mencukupi, baik berupa air asin maupun air tawar yang bebas pencemaran logam berat atau pestisida, tanah tambak bertekstur tidak porus dan tingkat kesuburannya tinggi. Saluran pemasukan airnya terpisah dari saluran pembuangan agar tercapai keselarasan budidaya.

Selain itu, tambak juga punya zona penyangga lingkungan agar limbah budidaya dapat diperbaiki secara alami oleh lingkungan. Sehingga, budidaya udang dapat berkelanjutan. Yang tidak kalah penting, tambak bebas banjir dan memiliki sarana transportasi memadai.

Konstruksi tambak, sambung Dardjono, juga mempengaruhi lingkungan budidaya si bongkok. Semakin dalam tambak, kondisi perairan akan semakin stabil. Tambak berkedalaman 120–150 cm, dapat menyediakan air yang relatif stabil. “Artinya, tidak ada fluktuasi antara pagi dan siang sehingga planktonnya bagus, kualitas airnya terjaga, dan udangnya bagus,” jelasnya.

Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 14 Edisi No. 286 yang terbit April 2018. Atau, klik di : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrinahttps://higoapps.com/item/1774/agrina-edition-jan-2018, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

http://www.agrina-online.com/DesainTambakUdang